Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Pembaca sekalian yang semoga senantiasa mendapatkan
Rahmat dan Hidayah dari Allah Azza wa Jalla. Saya senang sekali, karena setelah
sekian lama, akhirnya saya berkesempatan untuk mencoret-coret kembali blogku
tercinta ini. Saya mohon maaf kalau sudah membuat kalian kangen dengan
tulisan-tulisanku yang apa adanya ini (ngarep,
hehehe).
Baiklah, pada tulisan kali ini saya akan membahas tentang
cita-cita. Saya membuat tulisan ini tujuan utamanya adalah untuk memotivasi
diri yang beberapa minggu terakhir ini seolah-olah mengalami disorientasi hidup
(apa coba, sok ilmiah gitu, hehe).
Intinya adalah saya mencoba untuk membuat atau menyegarkan kembali patron atau
jalan apa saja yang ingin saya tempuh dalam mengarungi hidup yang singkat ini
untuk mencapi tujuan yang hakiki yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan
adanya patron tersebut maka memudahkan saya untuk mengambil tindakan-tindakan
yang menunjang hal tersebut dan yang terpenting adalah meminimalisir dalam
melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat atau istilahnya “quality timenya dapet”, begitulah kira-kira.
Cita-citaku
Dalam kamus besar bahasa indonesi (KBBI) cita-cita
diartikan sebagai sebuah keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran,
misalnya; “Ia berusaha mencapai cita-citanya untuk menjadi apoteker yang baik”.
Selain itu, cita-cita juga diartikan sebagai tujuan yang sempurna (yang akan
dicapai atau dilaksanakan), misalnya; “Untuk mewujudkan cita-citanya masuk ke
dalam surga, dia mengorbankan jiwa, raga, waktu dan hartanya.” Jadi cita-cita
adalah suatu hal mulya yang tentunya untuk meraihnya membutuhkan usaha, kerja
keras, ketekunan dan niat yang ikhlas karena Azza wa jalla. Sehingga cita-cita
tersebut mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat karena mendapatkan Ridho
dari Allah Ta’ala.
Dulu, ketika masih kecil, ingusan, lugu, polos dan imut,
saya sering ditanya oleh teman, paman, dan guru, “Madan kalau sudah besar,
cita-citanya mau jadi apa?” saya dengan polosnya menjawab “Saya mau jadi anak
yang berbakti kepada bangsa dan Negara”. (keren
kan, hehe) Saya nda tahu kenapa menjawab seperti itu disaat anak-anak lain
ada yang menjawab ingin jadi dokter, polisi, tentara, dan lain-lain, atau
mungkin karena saat itu saya sudah paham bahwa semua profesi, apa pun itu,
ujung-ujungnya adalah berkewajiban untuk berbakti kepada bangsa dan Negara
dengan jabatan, profesi atau ilmunya masing-masing. Walaupun sih, tidak sedikit
dari mereka yang ketika memiliki jabatan atau kekuasaan justru menjual Negara
demi kepentingan pribadi dan dunianya. (Keren
kan..?)
Kemudian ketika memasuki SMP dan SMA, setiap kali ditanya
tentang cita-cita, saya selalu menjawab dengan jawaban yang sama, “Saya ingin
menjadi manusia yang berbakti kepada bangsa dan Negara”. Tetapi semuanya
berubah ketika saya memasuki dunia perkuliahan, dunia kampus yang penuh warna
karena dihiasi oleh cinta, tingkah laku, pola pikir, ide-ide, kreativitas,
idealisme, rambut gondrong, demonstrasi, praktikum, kejar-kejar asisten,
begadang, pulang malam, makan nasi garam, nasi gula, minum kopi, teh, baca
buku, komik, novel, puasa akhir bulan, bermalam di jalan, mendaki gunung,
travelling, dan lain-lain sebagainya.
Saat itu, mataku seolah melihat sesuatu
yang berbeda dari hidup dan kehidupan ini. Begitu kompleksnya kehidupan sosial
yang ada di sekililingku membuat cakrawala berpikirku yang dulunya terbatas
menjadi terbuka lebar. Betapa Maha Besarnya Allah Azza wa Jalla yang telah
menciptak segala bentuk keindahan dunia dan isinya ini yang saling berinteraksi
dan terkait satu sama lain. Jika kita ingin merenungkannya, maka waktu yang
kita miliki di dunia ini tidak akan cukup, karena untuk mencitakan satu sayap
saja yang sama dengan saya lalat, kita tidak akan mampu melakukannya apalah
lagi orga-organ tubuh yang Allah Ta’ala berikan kepada kita. Allah Akbar, Allah
Maha Besar dengan segala ciptaan-Nya.
Sekarang, jika ada yang bertanya “Madan, cita-citanya
ingin jadi apa?” maka dengan bangga saya akan menjawab, “Saya ingin menjadi
Ahlu Surga”. Saya berharap keinginan untuk masuk surga tersebut terus
terpikirkan di benakku dan terpatri di dalam hatiku sehingga mempengaruhi jiwa
dan ragaku untuk melakukan hal-hal yang sejalan dengannya dan menjauhi hal-hal
yang dapat menghalangiku untuk masuk ke dalam surge tersebut. Sesungguhnya,
kenikmatan terbesar bagi seorang manusia adalah ketika dia bisa melihat wajah
Allah di surga, tidak ada kenikmatan di dunia dan akhirat melebihi kenikmatan
melihat wajah Allah Azza wa Jalla.
Ibnu Hazm berkata:
“Tidak ada cita-cita
yang lebih tinggi dari seseorang yang ingin masuk ke dalam surga”.
Akh, sepertinya pembahasanku mulai agak sedikit serius
yah, hehe. Sebagai intermezzo boleh juga teman-teman sekalian membaca tulisanku
yang berjudul “Membangun Istana dengan Rawatib”.
Jalan
untuk menuju cita-cita
Tahu tidak, dimana kampung halaman nenek moyang kita?
Jika kita membaca sejarah kehidupan manusia yang dijelaskan di dalam kitab-kitab
agama maka kita akan mengetahui bahwa kampung halaman nenek moyang kita yakni
Adam Alaihi Salam adalah di Surga Allah Ta’ala. Karena bisikan dan rayuan
syetan laktanatullah yang sangat halus dan pantang menyerah akhirnya nenek
moyang kita terusir dari Syurga.
Oleh karena itu tempat kembali kita seharusnya adalah ke tempat asal nenek
moyang kita yaitu syurganya Allah Azza wa jalla. Tetapi untuk pulang kampung ke
syurga tersebut tidaklah mudah, karena di dalam perjalanannya banyak sekali
halangan dan rintangan yang dibuat oleh syetan untuk mencegah kita. Jadi,
memilih jalan yang sesuai dan pas dengan diri kita serta kita merasa mampu
untuk melakukannya adalah salah satu cara untuk meminimalisisir halangan dan
rintangan yang dibuat oleh syetan tersebut.
Allah Ta’ala berfirman di dalam Al Qruan Surah Al Qashshash: 77 yang artinya:
“Carilah apa yang telah Allah sediakan untukmu dari
kehidupan akhirat, tetapi jangan kamu melupakan kehidupan duniamu.”
Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengejar akhirat
tetapi jangan melupakan dunia tetapi yang terjadi saat ini dimasyarakat, tidak
sedikit yang justru sebaliknya. Mereka berlomba-lomba mengejar dunia bahkan
kadang melupakan akhiratnya. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat tersebut.
Sebuah nasehat emas dari Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah:
“Dunia ini ibarat
baying-bayang, jika dikejar engkau tidak akan dapat menangkapnya, palingkanlah
tubuhmu darinya, dan dia tak punya pilihan lain selain mengikutimu”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang tujuannya akhirat, obsesinya akhirat,
cita-citanya akhirat, maka dia akan mendapatkan tiga perkara: pertama, Allah
menjadikan kecukupan di hatinya; kedua, Allah mengumpulkan urusannya; ketiga,
dunia datang kepada dia dalam keadaan dunia itu hina.
Barang siapa yang tujuannya dunia, obsesinya dunia,
cita-citanya dunia, maka dia akan mendapatkan tiga perkara: pertama, Allah
menjadikan kemelaratan ada di depan matanya; kedua, Allah mencerai beraikan
urusannya; ketiga, dunia tidak datang kecuali yang ditakdirkan untuk dia saja.”
(HR. At- Tirmidzi dan lain-lain, Hadis shahih).
Maka, berangkat dari perintah Allah Ta’ala, sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan nasehat emas dari Al Imam Ibnul
Qoyyim rahimahullah, saya memilih beberapa jalan yang Insya Allah bisa saya
tempuh dan berkecimpung di dalamnya. Adapun jalan-jalan tersebut adalah:
Pertama,
saya ingin menjadi guru ngaji. Jika tidak bisa mengajar ngaji anak-anak atau
masyarakat di sekitar tempat tinggaku, minimal menjadi guru ngaji untuk
anak-anakku kelak. (hehe.)
Kedua,
saya ingin menghafal Al Qur’an. Untuk menghafal Al Qur’an tentunya butuh
keseriusan yang ekstra, oleh karena itu saya menjadikannya sebagai pekerjaan
seumur hidup. Jika tidak bisa menghafal 30 juz minimal juz 30 lah beserta arti
dan maknanya. Biar adalah yang bisa dicerita untuk memotivasi anak-anak dalam
menghafal atau bisa jadi tempat muraja’ah mereka kelak.
Ketiga,
saya ingin menghafal hadits. Kayaknya ini agak sulit tapi bukan sesuatu yang
mustahil, kalau nda bisa menghafal kitab shahih bukhari, kitab shahih at
tarmidzi, shahih muslin, minimallah bisa mengafal kitab hadits Arbain An
Nawawi, atau kalau tidak bisa dihafal setidaknya sering dibacalah.
Keempat,
saya ingin membuat lembaga sosial. Ini mungkin tidak terlalu sulit, kalau
misalnya lembaganya belum bisa dibuat setidaknya bisa dimulai dengan membuat
kegiatan-kegiatan sosial dari hal-hal yang kecil hingga yang besar kayaknya
tidak sulit. Misal, melatih diri untuk bersedekah biar sedikit asal rutin,
membeli buku yang kecil-kecil terus dibagikan ke jama’ah masjid, membeli kurma
terus dibagikan ke tetangga dan lain-lain, mengajak teman bersedekah untuk
membantu panti asuhan, dan masih banyak lagi.
Dan
terakhir yang kelima adalah saya ingin menjadi apoteker yang
baik. Kalau untuk profesi yang satu ini kayaknya butuh pembahasan sendiri
saking panjangnya, soalnya kalau saya bahas ditulisan ini kayakanya bakalan
kepanjangan dan bisa jadi membosankan. Hehe.
Cita-citaku
bukan cita-cita kita,
Ini adalah cita-citaku, sedikit tentang curahan hatiku,
akankah dia akan menjadi cita-cita kita kelak? Biarlah waktu yang akan
menjawabnya.
Sebagai penutup dan juga sebagai nasehat bagi diri,
Sekian dan terimakasih,
Saya Abu Harits Al Buthony.
Makassar, Podokan Unhas.
25 November 2015.