Rabu, 25 November 2015

Masih Cita-citaku Belum Cita-cita kita


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh,

Pembaca sekalian yang semoga senantiasa mendapatkan Rahmat dan Hidayah dari Allah Azza wa Jalla. Saya senang sekali, karena setelah sekian lama, akhirnya saya berkesempatan untuk mencoret-coret kembali blogku tercinta ini. Saya mohon maaf kalau sudah membuat kalian kangen dengan tulisan-tulisanku yang apa adanya ini (ngarep, hehehe).

Baiklah, pada tulisan kali ini saya akan membahas tentang cita-cita. Saya membuat tulisan ini tujuan utamanya adalah untuk memotivasi diri yang beberapa minggu terakhir ini seolah-olah mengalami disorientasi hidup (apa coba, sok ilmiah gitu, hehe). Intinya adalah saya mencoba untuk membuat atau menyegarkan kembali patron atau jalan apa saja yang ingin saya tempuh dalam mengarungi hidup yang singkat ini untuk mencapi tujuan yang hakiki yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan adanya patron tersebut maka memudahkan saya untuk mengambil tindakan-tindakan yang menunjang hal tersebut dan yang terpenting adalah meminimalisir dalam melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat atau istilahnya “quality timenya dapet”, begitulah kira-kira.

Cita-citaku

Dalam kamus besar bahasa indonesi (KBBI) cita-cita diartikan sebagai sebuah keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran, misalnya; “Ia berusaha mencapai cita-citanya untuk menjadi apoteker yang baik”. Selain itu, cita-cita juga diartikan sebagai tujuan yang sempurna (yang akan dicapai atau dilaksanakan), misalnya; “Untuk mewujudkan cita-citanya masuk ke dalam surga, dia mengorbankan jiwa, raga, waktu dan hartanya.” Jadi cita-cita adalah suatu hal mulya yang tentunya untuk meraihnya membutuhkan usaha, kerja keras, ketekunan dan niat yang ikhlas karena Azza wa jalla. Sehingga cita-cita tersebut mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat karena mendapatkan Ridho dari Allah Ta’ala.

Dulu, ketika masih kecil, ingusan, lugu, polos dan imut, saya sering ditanya oleh teman, paman, dan guru, “Madan kalau sudah besar, cita-citanya mau jadi apa?” saya dengan polosnya menjawab “Saya mau jadi anak yang berbakti kepada bangsa dan Negara”. (keren kan, hehe) Saya nda tahu kenapa menjawab seperti itu disaat anak-anak lain ada yang menjawab ingin jadi dokter, polisi, tentara, dan lain-lain, atau mungkin karena saat itu saya sudah paham bahwa semua profesi, apa pun itu, ujung-ujungnya adalah berkewajiban untuk berbakti kepada bangsa dan Negara dengan jabatan, profesi atau ilmunya masing-masing. Walaupun sih, tidak sedikit dari mereka yang ketika memiliki jabatan atau kekuasaan justru menjual Negara demi kepentingan pribadi dan dunianya. (Keren kan..?)

Kemudian ketika memasuki SMP dan SMA, setiap kali ditanya tentang cita-cita, saya selalu menjawab dengan jawaban yang sama, “Saya ingin menjadi manusia yang berbakti kepada bangsa dan Negara”. Tetapi semuanya berubah ketika saya memasuki dunia perkuliahan, dunia kampus yang penuh warna karena dihiasi oleh cinta, tingkah laku, pola pikir, ide-ide, kreativitas, idealisme, rambut gondrong, demonstrasi, praktikum, kejar-kejar asisten, begadang, pulang malam, makan nasi garam, nasi gula, minum kopi, teh, baca buku, komik, novel, puasa akhir bulan, bermalam di jalan, mendaki gunung, travelling, dan lain-lain sebagainya. 

Saat itu, mataku seolah melihat sesuatu yang berbeda dari hidup dan kehidupan ini. Begitu kompleksnya kehidupan sosial yang ada di sekililingku membuat cakrawala berpikirku yang dulunya terbatas menjadi terbuka lebar. Betapa Maha Besarnya Allah Azza wa Jalla yang telah menciptak segala bentuk keindahan dunia dan isinya ini yang saling berinteraksi dan terkait satu sama lain. Jika kita ingin merenungkannya, maka waktu yang kita miliki di dunia ini tidak akan cukup, karena untuk mencitakan satu sayap saja yang sama dengan saya lalat, kita tidak akan mampu melakukannya apalah lagi orga-organ tubuh yang Allah Ta’ala berikan kepada kita. Allah Akbar, Allah Maha Besar dengan segala ciptaan-Nya.

Sekarang, jika ada yang bertanya “Madan, cita-citanya ingin jadi apa?” maka dengan bangga saya akan menjawab, “Saya ingin menjadi Ahlu Surga”. Saya berharap keinginan untuk masuk surga tersebut terus terpikirkan di benakku dan terpatri di dalam hatiku sehingga mempengaruhi jiwa dan ragaku untuk melakukan hal-hal yang sejalan dengannya dan menjauhi hal-hal yang dapat menghalangiku untuk masuk ke dalam surge tersebut. Sesungguhnya, kenikmatan terbesar bagi seorang manusia adalah ketika dia bisa melihat wajah Allah di surga, tidak ada kenikmatan di dunia dan akhirat melebihi kenikmatan melihat wajah Allah Azza wa Jalla.

Ibnu Hazm berkata:
“Tidak ada cita-cita yang lebih tinggi dari seseorang yang ingin masuk ke dalam surga”.

Akh, sepertinya pembahasanku mulai agak sedikit serius yah, hehe. Sebagai intermezzo boleh juga teman-teman sekalian membaca tulisanku yang berjudul “Membangun Istana dengan Rawatib”.

Jalan untuk menuju cita-cita

Tahu tidak, dimana kampung halaman nenek moyang kita? Jika kita membaca sejarah kehidupan manusia yang dijelaskan di dalam kitab-kitab agama maka kita akan mengetahui bahwa kampung halaman nenek moyang kita yakni Adam Alaihi Salam adalah di Surga Allah Ta’ala. Karena bisikan dan rayuan syetan laktanatullah yang sangat halus dan pantang menyerah akhirnya nenek moyang kita terusir dari Syurga. Oleh karena itu tempat kembali kita seharusnya adalah ke tempat asal nenek moyang kita yaitu syurganya Allah Azza wa jalla. Tetapi untuk pulang kampung ke syurga tersebut tidaklah mudah, karena di dalam perjalanannya banyak sekali halangan dan rintangan yang dibuat oleh syetan untuk mencegah kita. Jadi, memilih jalan yang sesuai dan pas dengan diri kita serta kita merasa mampu untuk melakukannya adalah salah satu cara untuk meminimalisisir halangan dan rintangan yang dibuat oleh syetan tersebut.

Allah Ta’ala berfirman di dalam Al Qruan Surah Al Qashshash: 77 yang artinya:
Carilah apa yang telah Allah sediakan untukmu dari kehidupan akhirat, tetapi jangan kamu melupakan kehidupan duniamu.”

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengejar akhirat tetapi jangan melupakan dunia tetapi yang terjadi saat ini dimasyarakat, tidak sedikit yang justru sebaliknya. Mereka berlomba-lomba mengejar dunia bahkan kadang melupakan akhiratnya. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat tersebut.

Sebuah nasehat emas dari Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah:
“Dunia ini ibarat baying-bayang, jika dikejar engkau tidak akan dapat menangkapnya, palingkanlah tubuhmu darinya, dan dia tak punya pilihan lain selain mengikutimu”.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang tujuannya akhirat, obsesinya akhirat, cita-citanya akhirat, maka dia akan mendapatkan tiga perkara: pertama, Allah menjadikan kecukupan di hatinya; kedua, Allah mengumpulkan urusannya; ketiga, dunia datang kepada dia dalam keadaan dunia itu hina.
Barang siapa yang tujuannya dunia, obsesinya dunia, cita-citanya dunia, maka dia akan mendapatkan tiga perkara: pertama, Allah menjadikan kemelaratan ada di depan matanya; kedua, Allah mencerai beraikan urusannya; ketiga, dunia tidak datang kecuali yang ditakdirkan untuk dia saja.” (HR. At- Tirmidzi dan lain-lain, Hadis shahih).

Maka, berangkat dari perintah Allah Ta’ala, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan nasehat emas dari Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah, saya memilih beberapa jalan yang Insya Allah bisa saya tempuh dan berkecimpung di dalamnya. Adapun jalan-jalan tersebut adalah:

Pertama, saya ingin menjadi guru ngaji. Jika tidak bisa mengajar ngaji anak-anak atau masyarakat di sekitar tempat tinggaku, minimal menjadi guru ngaji untuk anak-anakku kelak. (hehe.)

Kedua, saya ingin menghafal Al Qur’an. Untuk menghafal Al Qur’an tentunya butuh keseriusan yang ekstra, oleh karena itu saya menjadikannya sebagai pekerjaan seumur hidup. Jika tidak bisa menghafal 30 juz minimal juz 30 lah beserta arti dan maknanya. Biar adalah yang bisa dicerita untuk memotivasi anak-anak dalam menghafal atau bisa jadi tempat muraja’ah mereka kelak.

Ketiga, saya ingin menghafal hadits. Kayaknya ini agak sulit tapi bukan sesuatu yang mustahil, kalau nda bisa menghafal kitab shahih bukhari, kitab shahih at tarmidzi, shahih muslin, minimallah bisa mengafal kitab hadits Arbain An Nawawi, atau kalau tidak bisa dihafal setidaknya sering dibacalah.

Keempat, saya ingin membuat lembaga sosial. Ini mungkin tidak terlalu sulit, kalau misalnya lembaganya belum bisa dibuat setidaknya bisa dimulai dengan membuat kegiatan-kegiatan sosial dari hal-hal yang kecil hingga yang besar kayaknya tidak sulit. Misal, melatih diri untuk bersedekah biar sedikit asal rutin, membeli buku yang kecil-kecil terus dibagikan ke jama’ah masjid, membeli kurma terus dibagikan ke tetangga dan lain-lain, mengajak teman bersedekah untuk membantu panti asuhan, dan masih banyak lagi.

Dan terakhir yang kelima adalah saya ingin menjadi apoteker yang baik. Kalau untuk profesi yang satu ini kayaknya butuh pembahasan sendiri saking panjangnya, soalnya kalau saya bahas ditulisan ini kayakanya bakalan kepanjangan dan bisa jadi membosankan. Hehe.

Cita-citaku bukan cita-cita kita,

Ini adalah cita-citaku, sedikit tentang curahan hatiku, akankah dia akan menjadi cita-cita kita kelak? Biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Sebagai penutup dan juga sebagai nasehat bagi diri,

“Yakinlah bahwa Allah Ta’ala memilihmu untuk menjadi apa yang engkau jalani saat ini pasti ada hikmahnya”. Oleh karena itu lakukanlah apa yang Allah inginkan untuk kamu lakukan bukan sebaliknya.

Sekian dan terimakasih,
Saya Abu Harits Al Buthony.
Makassar, Podokan Unhas.
25 November 2015.