Ada
sebuah kisah tentang seorang laki-laki ahli ibadah yang diperselisihkan
namanya. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah Hasan Al Bashri, ada yang
mengatakan bahwa dia adalah Ad-Darani, dan ada juga yang mengatakan bahwa dia
adalah seorang ahli ibadah yang tidak diketahui namanya. Dia sedikit sekali
tidur malam.
Pada
suatu malam, matanya tidak sanggup lagi menahan kantuknya, maka dia tertidur
dan tidak melaksanakan shalat malam. Dalam tidurnya dia bermimpi melihat
seorang gadis yang kecantikannya tidak dapat dilukiskan, seolah-olah wajahnya
seperti bulan purnama. Gadis itu membawa lembaran dari kulit yang berisi
tulisan, lalu dia berkata, “Wahai Syaikh, apakah engkau bisa membaca?” Aku
menjawab, “Ya.” Gadis itu berkata, “Bacalah tulisan ini.”
Aku
ambil tulisan itu dari tangannya lalu aku baca,
Kenikmatan
tidur telah membuat engkau lupa dari kenikmatan hidup.
Bersama
bidadari-bidadari di kamar-kamar surga.
Engkau
akan hidup kekal selamanya, tidak ada kematian di sana.
Engkau
merasakan nikmat di surga itu bersama bidadari-bidadari.
Oleh
karena itu bangunlah dari tidurmu.
Karena
kebaikan itu bisa engkau dapati dengan membaca Al-Qur’an saat shalat tahajud.
Keindahan
surga, kenikmatan hidup bersama bidadari-bidadari di kamar-kamar surga membuat
rindu ini menjadi-jadi. Beribu-ribu tanya pun bermunculan, bak taburan
bintang-bintang yang menemani rembulan di tengah malam. Kecantikannya tak dapat
dilukiskan, sangat cantik, seolah-olah wajahnya seperti bulan purnama, pipinya
kemerah-merahan, mengenakan pakaian sutra, berjalan melenggang di depan
gadis-gadis lain (dayang-dayang) yang berhias, membuat Abdul Wahid bin Zaid
bersumpah kepada dirinya sendiri untuk tidak meninggalkan shalat malam.
Akh,
tanya itu masih menghujani kepalaku, membuat tubuhku basah, dan hatiku gelisah.
Sanggupkah jiwa yang kotor ini untuk mendapatkannya? sementara lambungku selalu
dekat dengan tempat tidurku. Entah apa yang akan dia katakan, masihkah dia sudi
menungguku?
Pernah
terlintas dipikiranku, Jika Allah menjanjikan bidadari yang cantik jelita di
surgaNya, lantas bagaimana dengan bidadariku di dunia? Apakah dia juga akan
menemaniku di surga? Ketika di dunia, menghabiskan hidup bersama, membangun
cinta mengejar cinta sejati dari sang pemilik cinta, Allah Azza wa Jalla, detik
demi detik penuh cinta hingga maut yang memisahkan. Apakah kebersamaan itu hanya
terjalin di dunia saja? Dalam bimbang aku pun mencari jawaban atas tanya
tersebut, dan ternyata, jawabannya adalah “TIDAK”. Jawaban tersebut membuat
bunga yang layu menjadi mekar, mewangi, menyebarkan harum menghiasi seluruh
relung hati, membangkitkan semangat yang sempat mati suri. Senyumanku tak bisa
terhenti, ketika membaca sabda kekasih hati. Rasulullah Sahalallahi ‘alaihi wa
salallam yang selalu di hati.
Rasulullah
Sahalallahi ‘alaihi wa salallam bersabda:
“Istri itu untuk suaminya yang terakhir.”
(HR. al-Baihaqi: 7/70, Thabrani, Abu Ya’la, dll.)
Hudzaifah
Radiallahu anhu berkata kepada istrinya:
“Jika engkau berkeinginan menjadi istriku di
surga, maka janganlah menikah setelah (kematian)ku, dikarenakan seorang wanita
di surga untuk suami-suaminya yang terakhir di dunia, oleh karena itulah Allah
mengharamkan isteri-istri Nabi untuk menikah setelah beliau, dikarenakan mereka
adalah istri-istri beliau di surga.” (Silsilah as-Shahiha, 3.275).
Dari
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama,
wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”
Beliau
shallallahu’‘alaihi wa sallam menjawab, “Wanita-wanita
dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti
kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”
Saya
bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih
utama daripada mereka?”
Beliau
menjawab, “Karena shalat mereka, puasa
dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh
mereka adalah kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau,
perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari
emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan
tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama
sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah
orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.” (HR. Ath Thabrani)
Ya,
bidadari di dunia memang berbeda dengan bidadari di surga, tetapi bidadari di
dunia lebih utama dan akan menjadi pemimpin dari bidadari-bidadari di surga.
Dan bidadari dunia adalah wanita yang menjadi penyempurna iman seorang lelaki,
wanita yang cintanya sangatlah besar, dan setia mendampinginya dalam keataatan
kepada Illahi Rabbi, sampai mati.
Siapakah
gerangan wanita yang akan menjadi penyempurna iman ini? Sungguh takdir Ilahi
adalah misteri. Kita hanya bisa meyakini dan terus memperbaiki diri. Seraya berdoa
kepada Illahi Rabbi, agar diberikan yang terbaik bagi diri.
Yang
pasti Allah telah berjanji dalan Al-Qur’an yang suci, bahwa lelaki yang baik
untuk wanita yang baik pula. Jadi jangan berkecil hati, terus perbaiki diri.
Untukmu
bidadariku yang entah berada dimana kini, jika kelak kau membaca tulisan ini,
kan kuyakinkan padamu bahwa, “aku akan
berusaha sepenuh hati dan sekuat diri untuk menjadikanmu bidadariku di dunia
dan di surga Illahi Rabbi”.
Bersabarlah,
jadilah wanita sholeha yang dicintai Illahi Rabbi. Jika Allah mengizinkan aku
kan segera datang menjemputmu tuk mengajukan satu pertanyaan,
Maukah
dikau menjadi bidadariku di dunia dan akhirat?
Saya,
Madanosin.
Selamat menunggu bidadari! :)
BalasHapus:) menunggu yang berarti.
Hapus