Selasa
sore sebelas Februari dua ribu empat belas memiliki kesan yang mendalam dalam
perjalanan hidupku di kota Makassar. Sebuah mesjid sederhana di kawasan pondokan
Jalan Sahabat menjadi saksi. Di situlah untuk pertama kalinya saya mengumandangkan
adzan di kota Daeng ini setelah tujuh tahun lamanya saya merantau meninggalkan
kampung tercinta.
Momen
itu sangat berkesan, karena memori masa lalu ketika masih di kampung kembali
terbayang. Saat-saat indah menjadi Muadzin kembali menggelora di dada, membuat
jantung berdetak cepat, sangat cepat. Seketika otak saya serasa terbius,
sehingga terkadang cukup lama saya berhenti ketika mengumandangkan adzan.
Gugup
pada awalnya, tetapi tidak berlangsung lama, seketika muncul rasa nyaman, dan
akhirnya kumandang adzan shalat ashar di sore itu berhasil saya lakukan.
Perasaan senang, gembira, terrpancar dari senyuman yang terus menghiasi bibirku
sepanjang perjalanan pulang ke kamar kos temanku yang berada tidak jauh dari
mesjid tersebut.
Setelah
tiba di kamar kos, perasaan bahagia itu belum juga hilang. Kerinduanku dengan
adzan ternyata sudah kronik. Untuk mengobatinya, saya kemudian berselancar di
internet untuk mencari video-video adzan dari muadzin-muadzin yang terkenal.
Saya
sadar bahwa suaraku tidak semerdu muadzin yang biasa mengumandangkan adzan di
televisi, tetapi saya percaya bahwa ketika kita tulus dalam melakukannya maka
para Jamaah akan senang mendengarnya dan akan tergerak untuk shalat berjamaah
di masjid.
Dalam
pencaharian saya di internet, saya menemukan sebuah kisah yang menarik dan
sempat membuat mata saya teduh dibuatnya. Cerita dari kisah tersebut tidak beda
jauh dengan kisahku, yaitu seorang muadzin yang sudah lama tidak
mengumandangkan adzan kemudian mengumandangkan adzan kembali hanya bedanya, ia
tidak mampu menyelesaikan adzannya karena rasa rindunya tersebut mengalahkan
keinginannya untuk menyelesaikan kumandang adzan tersebut.
Kisah
penuh inspirasi tersebut menceritakan tentang kerinduan seorang sahabat kepada
orang yang sangat dicintainya yaitu kerinduan sahabat Bilal bin Rabbah kepada
Rasulullah SAW.
Bilan
bin Rabbah dan Kerinduannya Kepada Kekasihnya Rasulullah SAW.
Namanya
adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dia
lahir di as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan
ibunya bernama Hamamah wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekkah.
Bilal
dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekkah) sebagai seorang budak milik keluarga
bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin
Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika
Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi
wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk
orang-orang pertama yang memeluk Islam.
Suatu
ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin
Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia
mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju,
walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Setelah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk
hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu.
Bilal
tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy
yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk
menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun
beliau pergi.
Selalu
bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya
dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah
lepas dari pemiliknya.
Ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di
Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang
mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah Islam.
Biasanya,
setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alash sholaati hayya ‘alal
falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih kemenangan” Lalu, ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat
beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan
di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal
bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu
Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai
kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan
Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat
Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik
dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung
itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk
mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul
Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan
dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Foto
Pemeran Bilal Bin Rabbah saat mengumandangkan Adzan untuk pertama kalinya dalam
FIlem Umar Bin Khatab.
Adzan
Bilal Ketika Kematian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
Inna
lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yang
paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di
hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. semoga
shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kiat tercinta Muhammad Shalallahu
‘Alaihi Wassalam.
Sesaat
setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir,
waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum
dikebumikan.
Saat
Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak
sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa
menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin
mengharu biru.
Sejak
kepergian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup
mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu
anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang
mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena
itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak
mengumandangkan adzan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu,
Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan
berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Abu
Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah
bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah
Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak
mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah
Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah
cukup lama.
Umar
sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar
kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di
depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan
kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”
Dalam
kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau
mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara
Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak
sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian
diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air
mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa
kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam..Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus
hingga wafat.
Tahun
20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70
tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis,
menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui
Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku akan
menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatku yang lain.
Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.”
Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara
langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam
kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini
ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih
di dunia.
Kisahku
memang tidak seperti kisah Bilal bin Rabbah. Beliau tiada duanya dalam hal
mengumandangkan Adzan. Ketika membaca kisah tentang Bilal bin Rabbah, saya
mendapatkan banyak pelajaran penting dan berharga. Semoga pembaca sekalian juga
bisa mendapatkan manfaat dari tulisan ini.
Kisah
Bilal ini di ambil dari berbagai sumber. Kisahku diambil dari pengalamanku.
Sekian,
semoga dapat bermanfaat.
mantapppp
BalasHapus