Sabtu, 29 Maret 2014

Kisah Adzanku Sedikit Mirip Dengan Kisah Adzan Bilal


Selasa sore sebelas Februari dua ribu empat belas memiliki kesan yang mendalam dalam perjalanan hidupku di kota Makassar. Sebuah mesjid sederhana di kawasan pondokan Jalan Sahabat menjadi saksi. Di situlah untuk pertama kalinya saya mengumandangkan adzan di kota Daeng ini setelah tujuh tahun lamanya saya merantau meninggalkan kampung tercinta.

Momen itu sangat berkesan, karena memori masa lalu ketika masih di kampung kembali terbayang. Saat-saat indah menjadi Muadzin kembali menggelora di dada, membuat jantung berdetak cepat, sangat cepat. Seketika otak saya serasa terbius, sehingga terkadang cukup lama saya berhenti ketika mengumandangkan adzan. 


Gugup pada awalnya, tetapi tidak berlangsung lama, seketika muncul rasa nyaman, dan akhirnya kumandang adzan shalat ashar di sore itu berhasil saya lakukan. Perasaan senang, gembira, terrpancar dari senyuman yang terus menghiasi bibirku sepanjang perjalanan pulang ke kamar kos temanku yang berada tidak jauh dari mesjid tersebut. 

Setelah tiba di kamar kos, perasaan bahagia itu belum juga hilang. Kerinduanku dengan adzan ternyata sudah kronik. Untuk mengobatinya, saya kemudian berselancar di internet untuk mencari video-video adzan dari muadzin-muadzin yang terkenal. 

Saya sadar bahwa suaraku tidak semerdu muadzin yang biasa mengumandangkan adzan di televisi, tetapi saya percaya bahwa ketika kita tulus dalam melakukannya maka para Jamaah akan senang mendengarnya dan akan tergerak untuk shalat berjamaah di masjid. 

Dalam pencaharian saya di internet, saya menemukan sebuah kisah yang menarik dan sempat membuat mata saya teduh dibuatnya. Cerita dari kisah tersebut tidak beda jauh dengan kisahku, yaitu seorang muadzin yang sudah lama tidak mengumandangkan adzan kemudian mengumandangkan adzan kembali hanya bedanya, ia tidak mampu menyelesaikan adzannya karena rasa rindunya tersebut mengalahkan keinginannya untuk menyelesaikan kumandang adzan tersebut. 

Kisah penuh inspirasi tersebut menceritakan tentang kerinduan seorang sahabat kepada orang yang sangat dicintainya yaitu kerinduan sahabat Bilal bin Rabbah kepada Rasulullah SAW. 

Bilan bin Rabbah dan Kerinduannya Kepada Kekasihnya Rasulullah SAW. 

Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dia lahir di as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekkah.

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekkah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.

Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.

Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alash sholaati hayya ‘alal falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih kemenangan” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.


Foto Pemeran Bilal Bin Rabbah saat mengumandangkan Adzan untuk pertama kalinya dalam FIlem Umar Bin Khatab.


Adzan Bilal Ketika Kematian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam 

Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yang paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan.

Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih di dunia.

Kisahku memang tidak seperti kisah Bilal bin Rabbah. Beliau tiada duanya dalam hal mengumandangkan Adzan. Ketika membaca kisah tentang Bilal bin Rabbah, saya mendapatkan banyak pelajaran penting dan berharga. Semoga pembaca sekalian juga bisa mendapatkan manfaat dari tulisan ini.

Kisah Bilal ini di ambil dari berbagai sumber. Kisahku diambil dari pengalamanku.

Sekian, semoga dapat bermanfaat.

1 komentar: