Sudah
lama rasanya artikel ini ingin saya tulis. Setiap kali tangan ini ingin
menari-nari di atas keyboard selalu saja ada hal yang menghalangi. Tetapi pagi
tadi setelah shalat subuh, raga ini menjadi semangat ’45 untuk manuliskannya.
Semangat
itu muncul setelah mendengarkan beberapa bacaan hadits yang dibacakan oleh imam
masjid ditempatku melaksanakan shalat subuh. Hadits yang dibacakan kebetulan
berhubungan dengan artikel yang ingin saya tulis. Selain itu, diakhir-akhir
penyampaiannya, sang imam menganjurkan kepada jamaah agar menyampaikan isi dari
hadits tersebut kepada mereka yang belum sempat mendengarkannya.
Berbagi,
saling ingat mengingatkan adalah salah satu hal yang sangat saya sukai. Oleh
karena itu, ketika imam menghimbau kami untuk membaginya kepada orang lain,
bibirku tak henti-hentinya tersenyum, langkah kakiku tak terasa lagi karena
otakku terus berpikir memikirkan kata demi kata yang ingin saya tuliskan.
Tepatnya
sekitar beberapa bulan yang lalu ide untuk menuliskan tentang rawatib ini
muncul dalam benakku. Bukan kebetulan ide ini muncul, semua bermula sekitar
lima atau enam tahun lalu. Waktu itu selepas shalat ashar di salah satu masjid
dekat rumahku. Sebagai remaja kampung yang lugu dan miskin akan ilmu agama,
dengan santainya saya melakukan shalat sunnah setelah shalat ashar. Sontak hal
tersebut membuat heran salah seorang jamaah.
Tanpa
saya sadari, dia sudah menunngu tepat di sampingku berdiri melaksanakan shalat
sunnah. Setelah shalat, dia langsung menghampiriku dan bertanya perihal shalat
sunnah apa yang saya lakukan. Dengan lugunya saya menjawab bahwa yang saya
lakukan adalah shalat sunnah ba’ada ashar. Dia langsung tersenyum dan kemudian
menasehatiku bahwa tidak ada shalat sunnah rawatib setelah shalat ashar.
Setelah kejadian itu, saya tidak pernah lagi melakukan shalat sunnah ba’da
ashar.
Istana dan Rawatib
Beberapa
bulan terakhir ini saya amati setiap kali setelah shalat berjamaah di beberapa
masjid, banyak diantara jamaah yang masih muda-muda langsung keluar
meninggalkan masjid. Sementara para orang tua yang berdiri pun terasa sulit
masih menyempatkan waktunya untuk shalat sunnah. Saya kemudian bertanya-tanya
dalam diri, kenapa? Apa sih manfaatnya shalat sunnah rawatib itu? Kalau
berlama-lama di masjid, nanti dikira sok alim, dan lain-lain.
Seperti
biasa, ketika kegelisahan muncul dalam diri maka obat yang paling mujarab
adalah dengan mencari tahu jawaban akan kegelisahan tersebut. Di dalam
pencarianku tersebut saya mendapatkan sebuah hadits yang menjawab kegelisahanku
tersebut. Haditsnya berbunyi sebagai berikut :
Dari
Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia
berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Seorang hamba yang muslim melakukan shalat
sunnah yang bukan wajib, karena Allah, (sebanyak) dua belas rakaat dalam setiap
hari, Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.”
(Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha
berkata, “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan
shalat-shalat tersebut.” (HR. Muslim no. 728)
Hadits
Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan
penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i,
dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua
belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya
rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat
sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan
dua rakaat sebelum subuh”. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794).
Setiap
manusia memiliki impian untuk membangun rumah atau istananya masing-masing.
Tetapi untuk mewujudkannya dibutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Coba kita
perhatikan di sekeliling kita, tidak sedikit orang yang terpaksa tidur di
emperan, tidur di bawah kolong jembatan, karena mereka tidak memiliki biaya
untuk membangun rumah.
Tetapi
ada di antara mereka walaupun tidur seadanya, setikar berdua, bertiga, tetapi mereka
tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid. Mereka tidak pernah alpa
melaksanakan shalat sunnah rawatib. Karena mereka tahu bahwa Allah akan
membangunkannya sebuah istana yang megah di surga kelak. Di dunia mereka boleh
tidur di tempat yang seadanya, tetapi di surga mereka adalah raja dengan istana
yang megah.
Banyak
diantara manusia saat ini dibutakan oleh dunia, dengan uang yang berlimpah
mereka berbondong-bondong membangun rumah yang sangat megah, sangat menteren
bak istana di negeri dongeng. Mereka tidak peduli dari mana asalnya uang yang
mereka peroleh, mereka terkadang lupa bahwa dibalik kemegahan bangunan tersebut
ada pertanggung jawaban yang menanti di akhirat kelak.
Membangun
istana di dunia tidaklah salah, tetapi membangun istana di akhirat adalah suatu
keharusan. Istana dunia itu akan menjadi museum atau rumah hantu ketika kita
sudah mati. Tetapi istana di surga akan kekal selama-lamanya ketika Allah sudah
memanggil kita untuk menempatinya.
Jika
suatu saat nanti kita ingat akan mati, maka ingatlah dimana kita akan tinggal
di akhirat nanti. Oleh karena itu, bangunlah istanamu dengan Shalat sunnah
rawatib.
Selamat menanti,
Abu_Laosar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar